kain jumputan

JUMPUTAN

Sesuai dengan proses pembuatannya, kain jumputan berasal dari kata “jumput”,berkaitan dengan cara pembuatan kain yang dicomot (ditarik) atau dijumput.

Proses pembuatan kain ini bisa dikatakan tidak sulit, kain diikat kemudian dicelupkan pada zat warna, sebuah proses yang tak sesulit membuat batik atau tenun, yang butuh waktu lama.

Sebelum adanya tehnik membatik, kain lurik dan kain jumputan lah yang berfungsi menutupi tubuh. Pada abad ke 16, kain ini telah dipakai dalam wilayah keraton Jawa sebagai busana (dodot, ikat kepala, selendang). Menurut sejarah, raja Mataram, menggunakannya kain jumputan berwarna biru putih sebagai dodot.

Kain yang biasanya dibuat dengan bahan sutera atau katun ini memiliki berbagai macam jenis,

1. Kain Jumputan, dibuat dengan cara kain putih ditarik/dijumput kemudian diikat dengan tali yang tidak menyerap warna. Setelah diikat sesuai pola, kain dicelup dalam pewarna (ubar). Setelah satu jam ikatan dilepas dan kain dibilas di air yang mengalir. Motif kain jumputan ini membentuk lingkaran.

2. Kain Pelangi, kain jumputan ini mempunyai tata warna dan hias yang lebih bervariasi. Asala mula kain ini karena keanekaragaman warnanya. Proses pembuatan kain ini lebiih rumit. Tahap pertama, prosesnya sama dengan kain jumputan, yaitu kain diikat dengan tali besar. Tahap kedua, bidang putih yang tidak terkenal ubar/pewarna diisi dengan coretan kuas.

Cara lainnya, bidang putih yang berbentuk bintang dan bunga lebih dulu dijelujur dengan benang, kemudian benang tersebut ditarik menjadi satu (tehnik tritik). Setelah itu diikat dengan tali dan kemudian diberi warna.

3. Kain Tritik, istilah tritik berasal dari kata tarik. Corak kain ini dibuat dengan menjelujur kain lalu ditarik rapat menjadi satu gumpalan kain. Setelah gumpalan kain diwarnai, dan benang jelujur dicabut, maka didapatlah ragam hiasa warna putih. Kain tritik dikenal dengan satu warna latarnya yang selalu biru tua, hitam dan merah mengkudu, namun kemudian berkembang bagian-bagian antara corak tritik pinggiran, badan, dan tengahan yang diberi warna berlainan yang kontras.

hello, Sade!

Tahun 2014, membawa saya ke sebuah desa bernama Sade, desa yang sejak lama saya ingin jelajahi. Menulis untuk Kriya sebuah majalah terbitan Dewan Kerajinan Nasional berhasil membawa saya menjejak tradisi dan budaya di desa ini, tak hanya mengenai asal muasal desa ini berburu kain tenun di desa Sade juga menjadi sebuah kemewahan tersendiri bagi saya. Setelah melakukan perjalanan selama satu jam dari kota Lombok, kedatangan saya ke desa ini disambut deretan rumah tradisional khas suku sasak, lengkap beratapkan langit biru dan awan putih yang indah, dan seketika, Mata saya langsung tertuju pada sekumpulan rumah yang di halaman depannya menjajakan beranekaragam tenun khas lombok dengan berbagai macam warna dan corak, cantik-cantik banget! rasanya mau beli semuanyaa… 16 4  Sebagian besar suku sasak memang bekerja sebagai petani, sementara kaum perempuannya jika tidak sedang musim panen biasanya menenun dan memproduksi kain tenun ikat lombok. Saat saya  masuk kedalam rumah salah satu penjual tenun, rupanya tidak semua tenun buatan tangan yang mereka jual.. jadi, buat kamu yang ingin membeli kain tenun suku sasak ini, harus jeli memperhatikan tenunannya, benar-benar handmade atau dibuat dengan mesin. oh ya, jangan ragu untuk menawar, karena biasanya mereka menaikkan harga tenunnya. Harge tenun di desa Sade ini berkisar 50 ribu sampai 2 juta rupiah, tapi inget lho, harus jeli memilihnya!

1

Kain Cual di Bangka Belitung

Sudah lama sekali saya tidak menulis di ceritakain.com, tapi saya selalu ingat bahwa saya punya “hutang” untuk menulis di laman yang bercerita tentang sedikit budaya di negari saya sendiri. aniwei, beberapa waktu lalu saya sempat diajak untuk menyinggahi pulau Bangka, tapi sayang sekali saya tidak bisa ikut dalam kesempatan tersebut, tapi, salah seorang sahabat saya yang memang lahir di pulau indah itu, membawakan satu buah kain Cual asli bangka untuk saya!

Kain Cual bangka Belitung adalah kain tradisional daerah penghasil Timah ini. Menurut cerita kain yang juga sering dinamakan kain limar muntok ini berkembang di sebuah kota bernama Muntok, tepatnya pada abad ke-17. Kain ini pertama kali diperkenalkan oleh kakek buyut pendiri toko kain Cual Ishadi yang berada di Pangkal Pinang. Kain ini hampir serupa dengan songket Palembang, bentuknya serupa dengan songket mengindikasikan adanya pengaruh dari kebudayaan Melayu. 

Kain ini dibuat secara manual dengan teknik menenun, kain ini memiliki kekhasan warna melayu yang lebih cerah dan bermotif flora dan fauna. Motif-motifnya yaitu motif Kembang Kenanga, Bebek, Ubur-ubur, Merak, Kembang Rukem dan Kembang Setaman. Proses pembuatan kain cual ini bisa dikatakan cukup rumit, bahan-bahannya pun bisa dibilang unik dan mahal. Bahan-bahan pembuatan kain ini adalah polyster, sutra, katun, serat kayu dan ada juga yang memakai benang emas seberat 18 karat.

Kain yang pengerjaannya biasanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu untuk mengisi waktu luang ini seringkali dijadikan pakaian kebesaran di kalangan bangsawan, pakaian pengantin dan pakaian kebesaran lainnya. Kain cual biasa juga dipakai dengan baju khas Bangka, yaitu baju seting, yaitu baju atasan khas Bangka, yang bentuknya serupa dengan baju kurung, berbahan sutera atau beludru. Nah, katanya nih, jika Anda mengunjungi pulau ini, Anda juga akan sering melihat kain cual, karena kain cual atau kain bermotif cual telah menjadi seragam di beberapa sekolah dasar dan kantor-kantor pemerintahan. 

 

 

Tumpal Pada Kain Batik

Ketika sedang membereskan tumpukan koleksi kain batik saya yang kebanyakan didapatkan dari daerah pesisir, saya penasaran banget dengan desain tumpal yang rata-rata terdapat pada batik-batik pesisir. Kalau diperhatikan nih, tumpal bermacam-macam:

  • Tumpal bagian kepala, yaitu bagian yang diletakkan di depan atau di pinggir kain.
  • Tumpal bagian badan yang terletak di tengah.
  • Tumpal bagian kaki yang bentuknya lebih sempit.

Belum diketahui secara pasti sejak kapan desain batik memakai tumpal mulai dipakai di daerah pesisir. Tumpal merupakan pembeda antara batik keraton yang saat dikenakan sebagai kain panjang di bagian diberi wiru, sedangkan di batik yang dipakai sehari-hari oleh rakyat biasa dipakai tanpa wiru, nah, sebagai gantinya maka batik tersebut diberi motif tumpal.

C.U.L.T.U.R.E.  

SUCH STUNNING COLORS. SUCH INTENSELY VIVID COLORS.SUCH A RICH OF RAINBOWS AND LIGHTNINGS.  ALL IN PERFECT TASTE.