ngopi sambil ngelelet di Lasem (1)

cukup satu setengah sampai dua sendok makan

Masuk ke dalam warung kopi yang isinya semua adalah pria yang ditemani teman mereka yaitu sebungkus rokok, memulai perbincangan saya tentang tradisi kopi di kota kecil ini. 

Sebagai penyuka kopi (meski sekarang saya terpaksa harus mengurangi ngopi), saya membahasakan kegiatan minum kopi ” ngopi” sebagai sebuah budaya. Arab Saudi sebagai daerah produksi kopi dan tradisi minum kopi tertua, punya budaya membakar dupa dan rempah yang tersebar di sekitar kopi yang akan dimunum.  Baru kemudian, tamu dan tuan rumah akan mengobrol soal kualitas kopi tersebut. Kalau di Eropa Selatan dan Amerika Latin, punya kebiasaan ngopi di pagi dan sore/malam hari dengan kegemaran biji kopi panggang, setengah pahit, setengah manis dengan sedikit rasa hangus.

Indonesia juga punya budaya ngopi di tiap daerahnya. Cangkruk sebuah istilah akrab bagi masyarakat Surabaya (terutama gresik) yang dipakai untuk nongkrong di warung  kopi yang rata-rata penjualnya warga keturunan Gresik. Di kota Aceh, budaya meminum kopi di warung dilakukan pagi hari sebelum beraktifitas, dan saat bulan Ramadhan, budaya ngopi di warung dilakukan sehabis pulang teraweh.

Waktu saya singgah di Lasem di ujung-ujung jalannya terdapat warung kopi yang ramai disinggahi siang hari sehabis makan siang dan sore hari menjelang malam. Masuk ke dalam warung kopi tersebut satu yang menjadi perhatian saya adalah bentuk cangkirnya yang begitu unik. kecil dan mungil. Cangkir ini adalah satu bentuk budaya ngopi di daerah pesisir Jawa Tengah, orang-orang terbiasa ngopi dengan cangkir sedemikian kecil.

Kopi yang disajikan dengan cangkir kecil ini ditemukan di warung kopi sepanjang Jawa.

Petang itu, saya duduk di warung kopi milik pak Gendut. Udara pesisir yang pada siang hari panas, menjelang malam seketika dingin. Untungnya saya masih membalut leher saya dengan selendang batik sekar jagad buatan pembatik di rumah pak Sigit Witjaksono.

Warung pak Gendut sama seperti warung-warung kopi di daerah ini pada umumnya. Kayu-kayu tak beraturan membentuk bangunan warung ini, di dalamnya beberapa meja dan kursi panjang yang juga terbuat dari kayu-kayu bekas. Warung pak Gendut terkenal banget di Lasem. Di tengah kepulan asap rokok dan wajah-wajah lelah pria pencari nafkah, saya memperhatikan pak Gendut mengeluarkan satu dua sendok kopi dari sebuah toples besar ke dalam cangkir mungil. “Biasa kental atau ndak mba?”, tanyanya pada saya. “kental”, jawab saya mantap. Padahal dalam hati saya, saya takut nanti malam tidak bisa tidur, karena kabarnya kopi ini sungguh kuat reaksinya.

Kayu bakar di warung ini tak berhenti memasak air dalam ketel. Air yang dimasak dengan kayu bakar, punya pengaruh yang kuat akan rasa dan wangi kopi ini. Hmmm… sahut saya sambil menghirup wangi kopi yang menyebar ketika cangkir berisi kopi bubuk dituangkan air panas. Sungguh luar biasa nikmat!

Disini punya kebiasaan menyeruput kopi yang telah dituang ke tatakan gelas. Tapi sebelumnya, harus menunggu beberapa menit sampai ampas kopi tersebut turun kedalam gelas. Jangan kuatir kopinya akan dingin, karena air yang dituang super panas.

Kopi Lelet ini ditumbuk sendiri dan dicampur resep rahasia oleh pembuatnya, yang hasilnya sebuah kopi tubruk yang pekat dan bertekstur lembut. Begitu nyeruput sedikit saja dari cangkir kecil berwarna putih ini rasa lelah saya berkeliling lasem dari pagi hingga menjelang petang pun nggak terasa lagi. Harus diakui kopi lelet ini punya reaksi yang luar biasa yang bisa membuat mata saya jadi segar kembali sampai semalaman. Tidak cukup bagi saya minum secangkir kecil kopi seharga 2000 rupiah ini *meskipun efeknya luar biasa*, saya pun membeli 1 kilo kopi Lasem seharga 45 ribu rupiah, untuk dibawa ke Jakarta untuk diri saya sendiri dan dibagikan ke teman-teman saya yang juga pecandu kopi.

Kata “lelet” dalam sebutan kopi lelet di Lasem membuat saya penasaran, kenapa harus bernama Lelet? ternyata nih, ada hubungannya dengan batik. Mau tahu? baca tulisan saya berikutnya ya..

Leave a comment